5 Tips Memotret Cityscape
Singapura, Hongkong dan New York merupakan contoh kecil bagaimana memotret cityscape begitu mudah dan bisa dibilang paling ideal. Mereka mempunyai tata kota yang dirancang untuk bentang kota yang ciamik, view yang luas dengan angle atas yang menarik.
Pun begitu, bukan berarti tantangan memotret bentang kota selesai. Tetap ada tips dan trik yang patut diketahui. Apa itu?
Pertama, mencari akses paling mudah dan tanpa izin khusus terutama buat turis biasa yang tidak memiliki waktu banyak. Misalkan Marina Bay di Singapura, The Peak di Hongkong dan The Rockfeller Building di Manhattan yang bebas diakses publik dan paling mudah.
Di beberapa kota, spot yang mampu mewakili bentang kota bisa nyempil atau tidak begitu familiar. Untuk menemukannya, dapat meriset terlebih dahulu terutama dari sejumlah foto-foto yang sudah ada.
Cari kemungkinan tempat memotretnya. Termasuk rute menuju lokasi, transportasi dan akses menuju ke sana. Apakah berbayar ataukah gratis. Jika mempunyai spot yang tidak begitu umum tetapi menjanjikan view yang memukau, tidak ada salahnya dicoba.
Seperti di Osaka, terdapat Umeda Sky Building untuk melihat cityscape kota samurai itu dengan sempurna, meski masih kalah populer dibanding Osaka Castle atau Universal Studio. Di New York beberapa tempat memiliki view kota yang memukau namun aksesnya terbatas karena berada di hotel, kafe atau restoran mahal.
Kedua, pilihan lensa yang tepat untuk cityscape. Banyak yang merekomendasikan lensa lebar untuk cityscape. Pada prakteknya, tidak semua lensa lebar itu sesuai. Sebaliknya, bukan berarti lensa lebar tidak diperlukan.
Kenapa, karena jarak dari si pemotret dengan subjek foto berbeda-beda. Semakin jauh, maka akan semakin kecil foto yang dihasilkan bila dengan lensa lebar. Sebaliknya, bila jarak berdiri pemotret dengan view yang akan dijepret terlalu dekat, efek distorsinya patut dipertimbangkan. Gedung akan menjadi miring karena efek lensa lebar.
Misalkan memotret Singapura dari taman dekat galeri Louis Vuitton yang berada di seberang Patung Merlion. Jarak keduanya lumayan jauh sehingga membuat deretan gedung bertingkat menjadi mungil bila menggunalan lensa wide.
Pilihan lensa yang tepat, bisa jadi lensa 50mm atau lebih sehingga deretan gedung Singapura lebih dekat dan besar. Pantulan lampu kota di teluk Marina juga mampu terekam apik dengan proporsi natural tanpa distorsi lensa yang berlebihan.
Di The Peak Hongkong kira-kira sama. Sebab, deretan gedung kota dengan tempat pemotretan jaraknya lumayan jauh. Kalau memaksakan menggunakan lensa lebar, gambarnya banyak ruang kosong dan deretan gedungnya kurang padat. Komposisi pun menjadi kurang nyentrik.
Pun demikian, bukan berarti lensa lebar tidak diperlukan. Pada bentang kota yang tidak mempunyai jarak memotret mencukupi, lensa lebar tetap dibutuhkan. Misalkan di Dotonbori Osaka atau Times Square Garden New York. Di kedua tempat ini lensa lebar diperlukan karena mentok oleh gedung-gedung dibelakang pemotret.
Ketiga, waktu pemotretan. Terdengar sepele namun bisa merubah karakteristik dan mood foto yang dihasilkan. Termasuk persoalan musim kalau bepergian ke negara-negara bersalju.
Juga soal lama antrian menuju spot tersebut, apakah sebentar atau tidak. Di beberapa tempat, perlu antre berjam-jam seperti menuju rooftop Rockfeller Building di New York.
Semburat matahari pagi dan kumpulan awan warna-warni sunset merupakan variasi yang paling ditunggu. Disarankan untuk datang pada sore hingga malam untuk mendapatkan momen yang menarik itu. Pemotret pun dapat merekam bentang kota saat terang, sunset dan lampu kota malam hari dengan baik.
Nah, pada saat sunset hingga hilangnya mega merah, usahakan selalu memicing di belakang kamera. Sebab warna langit sedang menjadi biru total karena efek sunset. Bisa dikatakan, ini waktu terbaik untuk merekam bentang kota.
Keempat, teknik memotret. Menguasai kemampuan dan karakteristik alat yang dipunyai menjadi penting. Terutama ketika menentukan pilihan apakah akan menggunakan mode Program, Manual, ataukah Aperture Priority.
Untuk memotret bentang kota, tidak ada patokan baku untuk mode kamera. Yang terpenting nyaman dan mampu merepresentasikan kebutuhan pemotret.
Akan tetapi, untuk bisa merekam semua elemen dengan kedalaman depth of field, biasanya menggunakan aperture lebih dari f/8. Diafragma kecil ini membuat semua lapisan menjadi tajam, dari yang terdekat hingga yang terjauh.
Konsekuensinya, speed camera menjadi rendah. Bila camera dibekali dengan ISO tinggi yang baik, bisa menjadi solusi. Jika tidak, maka tripod bisa menjadi andalan untuk speed lambat. Hanya saja, tidak semua lokasi membolehkan penggunaan tripod.
Kelima, komposisi. Setelah menemukan spot yang pas dengan waktu yang tepat, bagian terakhir yang tidak kalah menentukan adalah bagaimana cara mempresentasikan cityscape dalam sebidang foto. Komposisi ini yang akan menentukan karakter foto pemotret.
Apakah akan mengikuti rule of third ataukah mencoba dengan komposisi ekperimental yang di luar pakem. Atau mencari elemen lain seperti menempatkan foreground dan framing untuk mengusir kebosanan.
Mau tidak mau, improvisasi saat pemotretan menjadi penting. Yakni bagaimana membuat foto sekreatif mungkin sehingga bisa disajikan dengan unik, menarik dan mampu mencuri perhatian.
0 komentar: